Staf pengajar di Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember
Pendahuluan
Dalam konteks sosio-politik Jember, Bondowoso, Situbondo,
Lumajang, dan Probolinggo sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik.
Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut antara lain:
(a) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember, (b)
Aksi pembakaran gereja di Situbondo tahun 1995, (c) Kasus perebutan tanah
antara penduduk dan militer di Sukorejo Jember, (c) Aksi pembantaian dengan isu
Ninja pada tahun 1998, dan (d) Aksi masyarakat ketika Gus Dur dilengserkan dari
kursi kepresidenan tahun 2002. Peristiwa-peristiwa tersebut secara langsung
mencitrakan wilayah-wilayah tersebut beserta komunitas pendukungya sebagai
tempat bersemainya kekerasan karena latar belakang budaya Madura sebagai warga
mayoritas. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada
dasarnya peristiwa kekerasan tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di
wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan
peristiwa-peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini
mem-blow u~ peristiwa kekerasan di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip
tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember,
Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik
yang menjadikan wilayah ini dinamakan Pendhalungan.
Pendhalungan dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru
dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan
tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan
geografis, Pendhalungan memang berada pada `ruang lain kebudayaan'. Mengapa
dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Pendhalungan hanya merupakan
satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputi
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusat
informasi sehingga menjadikannya sebagai `liyan' (the other) yang kurang
diminati. Di samping itu, masyarakat Pendhalungan dianggap kurang memiliki
atraksi kultural yang bisa dijadikan ikon sepertihalnya wilayah kebuadayaan
lain di Jawa Timur (semisal Tengger, Osing, Panaragan, Mataraman, Arek, Madura
ataupun Samin) sehingga kurang menarik untuk dijadikan bahan kajian. Tetapi,
benarkah `posisi pinggir' dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan
Pendhalungan kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis? Tulisan berikut
merupakan naskah awal untuk membahas potret sosio-kultural masyarakat yang
mendiami wilayah Pendhalungan.
Menemukan Pendhalungan: Sebuah Definisi awal
Sampai saat ini, dikarenakan keterbatasan kajian dan referensi,
pengertian tentang Pendhalungan masih kabur. Tidak ada kejelasan mulai kapan
sebenarnya istilah `Pendhalungan' digunakan. Memang dalam praktiknya,
masyarakat awam seringkali mengatakan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan
berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan. Beberapa pakar
sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi
memberikan definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran
antara budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah
Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.'
Memang ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak
muncul adalah perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat
tersebut tentu tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan
warga mayoritas di wilayah ini. Tesis tentang perpaduan dan adaptasi budaya
memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota,
meskipun pada akhirnya tetap berorientasi pada budaya Jawa. Di Jember,
misalnya, interaksi antara warga Madura dan Jawa melahirkan sebuah Bahasa Jawa
Dialek Jember yang mempunyai perbedaan dalam struktur dengan Bahasa Jawa pada
umumnya4.
Dalam konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan,
lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian berakar dari budaya Jawa.
Di Desa Candi Jati, Kecamatan Arjasa Jember, misalnya, ada kelompok ludruk Mara
Jaya yang dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Madura karena memang
komunitas penontonnya berasal dari etnis Madura. Di Desa Panti, terdapat
kelompok jaranan Turonggo Sakti yang memadukan jaranan Jawa dan Osing,
sedangkan para pelakukanya merupakan campuran antara warga etnis Madura, Jawa,
dan sebagian kecil Osing.
Beberapa definisi dan contoh-contoh di atas sepintas memang
sudah mewakili definisi Pendhalungan dalam perspektif perpaduan budaya. Namun
citra yang dimunculkan dari definisi semacam ini adalah adanya proses
subordinasi terhadap budaya Madura oleh budaya Jawa, meskipun kondisi tersebut
tampak sebagai sebuah proses alamiah. Dengan kata lain budaya Jawa berposisi
sebagai ordinat, sedangkan etnis Madura sebagai subordinat yang berusaha untuk
beradaptasi dan kemudian `menjadi Jawa' secara kultural. Apakah ini yang
dinamakan Pendhalungan ketika orang Madura dalam sosialisasi dan adaptasi
dengan masyarakat Jawa, secara evolutif menjadi `Jawa Pendhalungan'? Mungkin
sebagian pakar berpikir demikian dan itu tidak bisa disalahkan karena fakta
tersebut benar-benar terjadi dan sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat
di Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Lumajang (terutama di wilayah
pusat kota dan pinggiran kota).
Kusnadi—dengan lebih menekankan sisi genetik—menjelaskan
pengertian lain tentang Pendhalungan dari hasil wawancaranya dengan salah satu
informan di Jember sebagai berikut:
......Pak Mangun (51), penduduk Tegal Boto, Jember. Ia
dilahirkan di Panaongan, Sumenep Utara, Madura. Ketika bekerja di Jember, ia
menikah dengan seorang perempuan Tegal Boto yang disebut sebagai orang Jawa.
Pada umumnya, orang Jawa yang menjadi penduduk asli Tegal Boto adalah orang
Osing. Ketika penulis bertanya tentang siapa-siapa yang bisa disebut sebagai
orang Pendhalungan, Pak Mangun berkata, "Saya ini kan orang Madura. Isteri
saya orang Jawa. Dari perkawinan tersebut, saya dikaruniai 2 anak perempuan.
Nah, 2 anak saya itu yang bisa disebut sebagai orang Pendhalungan. Beberapa
informan di Situbondo juga menyampaikan hal serupa tentang makna Pendhalungan~.
Tetapi pendapat tersebut menurut Kusnadi cenderung mempermudah
pemahaman identitas tentang identitas budaya Pendhalungan di tataran masyarakat
awam. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa budaya Pendhalungan merupakan hasil dari
suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam
kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya.
Pengertian terakhir yang diberikan oleh Kusnadi rupanya sejalan
dengan makna kata `Pendhalungan' yang diberikan oleh Prawiroatmodjo (1985)
dalam Bausastra Jawa¬Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pendhalungan
berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti "periuk besar".
Dalam konsep simbolik, `periuk besar' bisa didefinisikan sebagai tempat
bertemunya bermacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebudayaan kemudian
saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru
kebudayaan yang disebut Pendhalungan.
Definisi tersebut akan menjadi pijakan utama dalam membahas
Pendhalungan di makalah ini karena dalam konteks historis maupun sosio-kultural
interaksi dan komunikasi beragam etnislah—tidak hanya Jawa dan Madura—yang
telah menciptakan kondisi kultural masyarakat Pendhalungan. Pendekatan
multikultural juga akan menjadi alat bantu dalam menganalisis perkembangan
masyarakat Pendhalungan dewasa ini. Dengan menggunakan pendekatan ini
diharapkan akan menghasilkan kajian yang lebih komperhensif tentang bagaimana
kondisi, peran, kontestasi, dan beragam kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.
Pendhalungan: Hibridasi dan Orkestra Multikultural dalam Sebuah
Periuk Besar
Membicarakan Pendhalungan dalam konteks yang lebih luas, tentu
tidak bisa menegaskan keberadaan etnis lain, selain Jawa dan Madura. Tionghoa,
Arab dan Osing, meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut
berpartisipasi dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu
tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Di Jember, misalnya, sejak migrasi
era kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini
Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat multietnis'.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya
dalam masyarakat secara kontinyu berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling
berinteraksi dan beradaptasi untuk saling melengkapi berdasarkan peran
masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang.
Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun dan petani serta
sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren sebagai kyai dan
ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai petani, pendidik
(formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada yang
berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap.
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi
proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah
varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pendhalungan. Memang
sebagai dua etnis mayoritas, Pendhalungan kemudian lebih bernuansa perpaduan
Jawa dan Madura. Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yang luas, maka bisa
dimunculkan tesis baru. Pendhalungan merupakan Kiroses interaksi dan komunikasi
di antara beragam etnis yang berakar dari Kieran sosial dan atraksi kultural
masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks
ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang
menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Pendhalungan
merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.
a. Hibridasi ala Pendhalungan
Pieterse (dalam Barker) menjelaskan bahwa hibridasi struktural
merupakan proses perpaduan yang menghasilkan piihan organisasional bagi
masyarakat sedangkan hibridasi kultural membedakan berbagai respons budaya yang
merentang dari asimilasi, bentuk¬bentuk pemisahan, sampai dengan hibrida yang
mendestabilkan dan mengaburkan sekat¬sekat budaya sehingga terjadi persilangan
serta munculnya `komunitas terbayang' meskipun tidak selamanya sekat
masing-masing budaya terhapus (2004: 208). Artinya, dalam masyarakat
Pendhalungan yang multietnik telah terjadi persilangan peran sosial teruatama
dalam pilihan organisasi sebagai akibat dari saling berinteraksinya budaya
mereka. Saat ini, misalnya, sudah banyak warga etnik Madura yang memilih untuk
menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga bukan lagi menjadi
dominasi etnis Jawa. Sedangkan hibridasi kultural yang terjadi pada masyarakat
Pendhalungan merupakan percampuran bermacam bahasa dan tradisi multietnik yang
membentuk `budaya baru' meskipun tidak selamanya baru.
Budaya baru tersebut berbentuk, misalnya, Bahasa Jawa Dialek
Jember, yang digunakan komunitas Madura dan Jawa yang bertempat tinggal di kota
dan pinggiran kota. tiga etnis tersebut juga melakukan proses interaksi dengan
warga Jawa dan Madura. Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksi dagang, banyak
berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Madura maupun Bahasa Jawa bercampur
logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan etnis Arab. Di kota-kota
kecamatan, seperti Ambulu Jember, kita bisa menjumpai perkampungan Arab di mana
warganya banyak yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur logat Bahasa
Arab.
Sedangkan dalam tradisi kesenian, disamping penterjemahan konsep
kesenian Jawa ke dalam Bahasa Madura, juga terjadi keterlibatan lintasetnis
dalam kesenian Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa merubah format pertunjukan
maupun bahasanya. Dalam kesenian Barongsai dan Liang liong Jember, misalnya,
banyak anggota—baik penari maupun pemusiknya—yang berasal dari etnis Madura
maupun Jawa. Begitupula yang terjadi dengan penggarapan kesenian Gambus (Arab),
Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga melibatkan etnik Madura dan Jawa.
Di sini tampak jelas, meskipun telah terjadi hibridasi, namun di Pendhalungan
tetap belum menghasilkan `sesuatu yang sepenuhnya baru'. Dengan kata lain ada
kesadaran dan kemauan personal untuk berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian
etnis lain—baik karena motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya—dan tidak
berarti mereka kehilangan jati diri budaya etnis asal mereka.
Di samping hibridasi yang berorientasi pada keterlibatan
personal, ada juga hibridasi yang menghasilkan bentuk kesenian baru, semisal
kesenian Can -Macanan Kaduk dan Musik Patrol (Jember), Singo ~lung dan lFayang
Kerte (Bondowoso). Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal
dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan
hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika
pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan
Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis
penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can ~Macanan Kaduk,
meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat
bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan
Wayang Kerte, terbuat dari kayu pipih (seperti wayang krucil) namun karakter
dan ceritanya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
b. Orkestra Multikultural Masyarakat Multietnik
Selain membicarakan Pendhalungan sebagai proses perpaduan,
sebenarnya kita juga bisa membicarakan Pendhalungan dalam konteks masyarakat
multikultural. Mengapa demikian? Karena di samping ditemukannya data tentang
perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya baru, di wilayah kebudayaan ini juga
bisa dilihat adanya budaya masing¬masing etnis yang tetap dipertahankan dalam
sebuah proses sosial yang menempati ruang dan waktu yang sama. Meskipun dalam
kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetap kukuh dalam
menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan identitas masing¬masing demi
terjaganya jati diri dan, meminjam istilah Barker (2004: 209), absolutisme
etnis. Hal itu membuktikan tesis yang dilontarkan Pietersen bahwa meskipun
terjadi proses hibridasi ketika berada dalam ranah interaksi sosial, tetapi
identitas etnis tidak terhapus begitu saja dalam tataran kognitif dan praktis
kehidupan mereka.
Di Jember, misalnya, kondisi tersebut sangat tampak ketika kita
melihat aktivitas budaya di wilayah selatan dan utara. Sebagai produk segregasi
etnis ala kolonial, masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah selatan Jember
(seperti Ambulu, Wuluhan, Balung, Puger, Gumukmas, Kencong, Jombang, Umbulsari,
dan Semboro) sampai saat ini masih mempraktekkan produk budaya Jawa baik dalam
hal bahasa, kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Ambulu
dan Wuluhan, misalnya, sampai saat ini masih melestarikan kesenian Beog yang
berasal dari nenek moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua
masyarakat di selatan juga menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari.
Sedangkan untuk urusan pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan
formal, meskipun di sana juga terdapat pondok pesantren.
Di wilayah utara, masyarakat tetap bertahan pada orientasi
budaya Madura. Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di
Kecamatan Arjasa, Jelbug, Sukowono, Kalisat, Sumberjambe, Ledokombo, Mayang,
dan sebagian Pakusari. Di samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar
melihat pertunjukan Hadrah sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi
pendidikan etnis Madura. Pengajian juga menjadi acara favorit karena di samping
mendapatkan wejangan-wejangan tentang Islam, mereka juga bisa bertemu dengan
para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak kyai) yang dianggap bisa
mendatangkan berkah bagi kehidupan warga.
Sedangkan di wilayah tengah—kota dan pinggiran kota—di samping
berdagang, etnis Tionghoa—sebagai berkah reformasi politik nasional—juga mulai
mengembangkan kesenian Barongsai dan Liang liong sebagai kesenian khas mereka.
Pada peringatan Imlek, kesenian ini dipertontonkan menyusuri jalan-jalan
protokol kota Jember. Meskipun generasi mudanya sudah banyak yang menggunakan
Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dengan aksen Tionghoa, Bahasa Mandarin sudah
mulai diperkenalkan lagi. Dalam hal pendidikan sebagian besar warga etnis
Tionghoa tetap menyekolahkan anak¬anaknya ke sekolah-sekolah yang dikelola
gereja, seperti SD, SMP, dan SMA Santo Yusuf, SMA Setya Cadika, dan lain-lain.
Sementara etnis Arab tetap kukuh mempertahankan identitasnya dengan tetap
melestarikan pernikahan sesama etnis. Mereka juga masih mempertahankan Musik
Gambus sebagai pemenuh kebutuhan estetiknya.
Fakta-fakta di atas merupakan sisi lain Pendhalungan. Sebuah
komunitas budaya yang selama ini hanya dianggap bercirikan perpaduan budaya
Jawa dan Madura, ternyata menyimpan `sebuah orkestra multikultural' yang
berjalan dengan harmonis dan dinamis. Meskipun seringkali dikatakan
menghasilkan produk budaya hibrid yang dinamakan Pendhalungan ternyata mereka
tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk pemertahanan identitas kultural etnis
masing-masing. Mereka yang selama ini melangsungkan kehidupan dalam `sebuah
periuk besar' di Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Lumajang ini
berhasil mengembangkan satu bentuk masyarakat multikultural yang sangat toleran
dalam menghargai perbedaan.
Orkestra multikultural dalam sebuah periuk besar bernama
Pendhalungan ini merupakan sisi positif dari sebuah keberagaman yang semestinya
terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Komunitas Pendhalungan dengan
segala kekurangannya telah memberikan contoh tentang bagaimana membangun
kesadaran bersama dalam masyarakat multikultural. Parsudi Suparlan dalam
makalahnya mengatakan:
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk
juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti
sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat
yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik
tersebut8.
Menyitir pendapat di atas, bisa dikatakan bahwa komunitas
pendukung di wilayah kebudayaan Pendhalungan ternyata tidak hanya membuat
mozaik budaya, tetapi lebih dari itu, mereka telah menghasilkan orkestra
multikultural yang indah di tengah suburnya lahan pertanian dan perkebunan
serta denyut nadi bisnis modern dan pendidikan yang mulai menggeliat.
Masyarakat Pendhalungan berhasil menggugurkan analisis yang dilontarkan
Muhaemin el-Mahdy yang mengatakan bahwa:
Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis
dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan
masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul
dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antarkelompok yang
meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia
menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam
Negara¬Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya
saling pengertian antar kelompok9.
Ternyata selama puluhan—bahkan ratusan—tahun masyarakat
Pendhalungan berhasil menciptakan mekanisme interaksi sosial yang mampu menjaga
keharmonisan dalam kontestasi budaya masing-masing etnis.
Kesimpulan
Sepertihalnya sebuah orkestra yang mengusung perpaduan dari
permainan bermacam instrumen musik dalam irama harmonis, Pendhalungan bisa
dikatakan sebagai `sebuah proses yang akan terus menjadi' di tengah-tengah
keragamannya. Artinya apa-apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahami dari
wilayah kebudayaan ini adalah sesuatu yang belum mapan (established) dan akan
terus menjadi sesuai dengan gerak dinamis kebudayaan etnis-etnis pendukungnya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, ada beberapa kemungkinan yang
bisa dilontarkan. Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpaduan kebudayaan
masing-masing etnis di wilayah ini akan menghasilkan sebuah budaya yang
`benar-benar baru' sehingga orang-orang di luar komunitas ini tidak lagi akan
mengatakan Jawa Pendhalungan, Madura Pendhalungan, Tionghoa Pendhalungan,
ataupun Arab Pendhalungan, tetapi benar-benar mengatakan Kamu Pendhalungan.
Kedua, Pendhalungan akan tetap seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada juga
atraksi kultural dari masing-masing etnisnya dengan suasana yang semakin
dinamis karena datangnya etnis-etnis lain dari seluruh bagian Indonesia, baik
karena alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Semuanya bisa saja terjadi dan
semuanya akan berdampak positif selagi komunitas pendukung menyadarinya. Yang
tidak baik adalah ketika periuk besar ini hancur karena sengaja dipecah oleh
mereka yang mengatasnamakan kebenaran demi kepentinganpolitik, agama, ekonomi,
ataupun perut.
Catatan akhir
Dr. Harry Yuswadi, M.A. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan,
Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember:
Penerbit Kompyawisda, hal.101.
4 Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura
di kota dan pinggiran kota ketika mereka berkomunikasi dalam ranah sosial
dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Madura
mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang
berbeda jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari
beberapa faktor, antara lain (1) beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal
ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap Bahasa Jawa. Berikut
contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari¬hari antara etnis Jawa
(EJ) dan Madura (EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku. Jawaban
‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakan usaha menggunakan Bahasa Jawa yang
dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat Bambang Wibisono
dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat
Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di
Jember)” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.1 Januari 2001, Fakultas
Sastra Universitas Jember.hal. 1-13.
5 Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal
Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu
Humaniora, Vol. II/No.2/2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal.3-4.
6 Ibid.
7 Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan
Madura di wilayah Tapal Kuda juga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu,
Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.
Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar,
16-21 Juli 2002.
9 Muhaemin el-Ma'hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan
Pendidikan Multikultural”, diakses dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
Daftar Bacaan
Barker, Chris.2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik.
(terjemahan Indonesia oleh Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
el-Ma'hady, Muhaemin. "Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural" dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15
Pebruari 2006, 11.30 WIB.
Kusnadi. "Masyarakat "Tapal Kuda": Konstruksi
Kebudayaan dan Kekerasan Politik", dalam JurnalIlmu-ilmu Humaniora,
Vol.IIINo.2IJuli 2001.Fakultas Sastra Universitas Jember.
Prawiroatmodjo, S.198~. Bausastra Jawa—Indonesia I. Jakarta:
Gunung Agung.
Suparlan, Parsudi. "Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural", makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar,
16-21 Juli 2002.
Sutarto, Ayu. 2004 "Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan
untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur", dalam Ayu Sutarto dan
Setya Yuwana (et.als). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa
Timur. Jember: Kompyawisda.
Wibisono, Bambang dan Akhmad Sofyan. "Latar Belakang
Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian
Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)", dalam Jurnal Ilmu-ilmu
Humanioara, Vol.IIINo.1IJanuari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan
Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.
Sumber :
Makalah disampaikan dalam kegiatan Jelajah Budaya yang
diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di
Jember 13 Agustus 2006.
0 komentar:
Posting Komentar